Sebuah rahasia terungkap dari salah seorang tersabar di jagat ini, dengan ketenangan yang membungkus wajahnya, dia membeberkan rahasia bersabar dengan memberikan pengandaian, "Jika engkau mengenal dekat seseorang dan engkau tahu dengan sangat jelas bahwa dia mempunyai penyakit yang cukup parah menggerogoti dirinya. Untuk mengatasi penyakitnya, para dokter menyuntikkan begitu banyak obat dan hormon yang mengakibatkan emosinya terganggu, sehingga emosinya tidak terkendali, tiba-tiba dia bisa menjadi sedih, gelisah, atau meledak amarahnya".
Setelah menarik napas, dia melanjutkan dengan sebuah pertanyaan, "Apakah engkau akan kesal ketika tiba-tiba dia marah kepadamu?" Semua yang hadir menjawab "tidak". Kenapa? Karena kita benar-benar memahami kondisi yang dialami orang tersebut. Bahkan, lebih dari sekadar kasihan, melainkan empati. Pengertian dan pemahaman inilah salah satu kunci rahasia menghadapi orang-orang yang kita beri cap "orang yang menyulitkan".
Orang yang menyulitkan sebenarnya bukanlah orang yang membuat kita sulit. Ada sesuatu dan banyak yang dapat kita raih karena kehadirannya. Mari kita lihat apa yang kita dapatkan, tetapi sebelumnya ada baiknya kita mengubah pemaknaan kita pada kata "orang yang menyulitkan", dari orang yang menyulitkan menjadi orang yang sulit dimengerti.
Ketika pemaknaan diubah menjadi orang yang sulit dimengerti, kita tidak lagi menyalahkan mereka, tetapi kita merasa perlu untuk menambah pengertian dari dalam diri sendiri, sehingga kita dapat memahami mereka, Kebanyakan dari kita tidak mengetahui latar belakang kehidupan orang-orang ini. Jarang seseorang masuk dan bertanya tentang masa lalu orang-orang ini, atau mungkin juga karena mereka enggan membuka diri terhadap problem di masa lalunya.
Apa pun yang dilakukan seseorang saat ini, besar-kecilnya pasti ada pengaruh dari pengalaman masa lampaunya. Mereka bertindak atau punya kebiasaan seperti saat ini, pastilah ada sebab di baliknya. Penyebab inilah yang sebaiknya kita sadari, walaupun tidaklah penting mengetahui masa lalu yang menyebabkan seseorang bertindak seperti sekarang ini.
Tanpa kesadaran ini, kita akan masuk dalam kondisi yang reaktif, ketika tindakan kita hanyalah sebuah spontanitas dari mekanisme menyerang atau menjauh (fight or flight) yang telah ada di bagian primitif pikiran bawah sadar kita. Menyadai hal ini juga membuat kita memberi ruang antara orang tersebut dengan perilakunya. Sebelumnya kita mengasosiasikan dengan erat bahwa yang menyulitkan itu orangnya, tetapi sekarang kita mengasosiasikan bahwa yang menyulitkan adalah perilakunya. Mirip sebuah kalimat pencerahan yang saya terima dari seorang sahabat melalui SMS beberapa tahun lalu, yang berbunyi: "Define the problem as a person and you are in trouble, define the problem as a difficult behaviour, you can do something about it."
Selain itu, meningkatkan pengertian dan pemahaman saya ketika berhadapan dengan orang yang susah dimengerti, biasanya saya mengulang sebuah kalimat yang kurang lebih berbunyi: "Walaupun tidak nyaman bertemu orang yang menyulitkan, ini jauh lebih enak daripada menjadi orang yang menyulitkan itu." Menjadi orang yang menpunyai temperamen tinggi sangatlah tidak nyaman, bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Orang-orang ini juga terseret tali emosi yang membawanya. Menyadari betul keadaan "Orang yang menyulitkan" selain membawa kita ke pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana perilaku seseorang terbentuk, juga akan menjadikan jiwa kita bersyukur.
Melihat dari mata yang lain
Apa yang kita lakukan ketika bayi menangis, memuntahkan makanan, atau sebentar-bentar mengompol? Apakah kita marah? Kita dapat memakluminya bukan? Namun, jika kelakuan yang sama persis terjadi pada anak dengan usia tujuh tahun, sulit untuk kita memahaminya, kita pun menjadi gusar atau jengkel dibuatnya.
Jika kejadian ini terjadi berulang-ulang tanpa dapat dihentikan, kita menjadi frustrasi. Ini membuktikan bahwa sebuah kejadian tidak pernah membuat kita marah, sedih, jengkel, atau lainnya, yang membuat emosi kita terscungkil adalah sesuatu yang ada dalam diri kita. Pada seorang bayi kita tidak meletakkan syarat apapun, kita mencintainya dengan stulus hati kita. Dalam arti, apa pun yang dilakukan bayi, kita tetap mencintainya. Adanya syarat yang kita buat, atau dari standar pandangan umum yang kita terima, inilah yang membuat emosi kita terayun. "Orang yang menyulitkan" hadir dalam keseharian agar kita belajar mencintai tanpa syarat, mirip seperti orangtua yang mencintai bayinya.
Selain melihat dengan mata penuh cinta, kita diminta juga untuk melihat dari mata seorang guru, seperti guru-guru di kelas sewaktu kita menggali ilmu di sekolah dasar (SD). Sewaktu baru masuk SD, tambah-tambahan, menulis, dan mengeja ABC serta hal lain yang kita lakukan pastinya jauh dari kemampuan kita sekarang. Namun guru mengerti, memahami dan juga mencintai kita, dengan sabar guru-guru kita membimbing, karena mereka tahu bukannya anak muridnya tidak bisa, tetapi mereka masih dalam proses bertumbuh.
Mata lain yang sangat ampuh untuk digunakan adalah mata yang berlawanan dengan mata yang telah disebutkan tadi. Jika tadi kita memosisikan menjadi guru, sekarang kita berposisi sebagai murid dan orang yang kita anggap menyebalkan adalah guru kita. Dengan mata ini kita akan melihat bahwa mereka muncul, untuk mengajarkan kita bersabar, orang yang cerewet dan mulutnya tajam hadir untuk memberi tahu kita cara mendengar dan berkata-kata yang baik.
Anehnya, kita tidak pernah menyampaikan terima kasih kepada mereka. Padahal mereka mau berkorban demi kita. Mereka mau menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukan untuk membuat kita menjadi orang yang lebih baik. Bukankah ini sesuatu yang luar biasa?
Apa yang Kita Tidak Suka di Orang Lain Ada Ada Dalam Diri Kita
Mungkin akan banyak yang tidak sependapat dengan tulisan dibawah ini, tetapi tetaplah membaca dengan pikiran terbuka.
Banyak guru spiritual yang saya ketahui membunyikan sebuah pernyataan yang serupa, bahwa tidak ada realitas di luar, semua ada di dalam. Jadi apa pun yang ada di luar sana adalah sebuah cerminan yang ada di dalam ini. Dengan kata lain, jika kita menemukan ketidaksukaan akan sesuatu pada orang lain maka sebenarnya sesuatu itu ada di dalam diri kita. Kita tidak melihat perangai, tabiat, atau perilaku ini dalam diri kita karena keberadaannya kita sangkal. Dalam bahasa contoh, seandainya Anda benar-benar tidak suka dengan seseorang yang suka memotong pembicaraan orang lain, spontan Emosi anda langsung terbangun. Maka dapat dikatakan jika perangai itu sebenarnya juga ada di dalam diri Anda sendiri. Mungkin begitu membaca ini Anda langsung menyangkalnya, itu biasa, pikiran kita akan menentang dan mencoba mengajukan alasan-alasan untuk menyangkalnya. Jangan khawatir, itu terjadi juga pada saya. Untuk mengecek kebenarannya, saya kemudian bertanya kepada orang-orang terdekat. Saya mencob membuat catatan tentang beberapa hal yang benar-benar tidak saya suka. Salah satu yang membuat emosi saya mencuat adalah jika ada seseorang yang mendominasi pembicaraan dan tidak memberikan ruang untuk yang lain. Hal ini sering saya keluhkan melalui kritikan pedas yang saya sampaikan kepada para sahabat yang menemani saya pada saat saya menjumpai orang dengan perilaku seperti itu.
Dan ketika saya mengharapkan sebuah jawaban "yes" or "no" yang jujur atas pertanyaan "Apakah kualitas tersebut ada di dalam diri saya?", hampir semua sahabat menjawab dengan tak bersuara alias diam beberapa saat dan tiga kata "yes you are" meluncur dari bibirnya. Hasil yang sama juga terjadi pada sahabat yang berani mencoba melakukan yang saya lakukan. Anda pun dapat mencobanya. Ketakutan yang muncul pada awalnya merupakan tanda tidak siapnya Anda menerima kata "ya". Namun, untuk sebuah perbaikan diri, hal ini tidaklah terlalu mahal.
Setelah menyadari semua ini, bertemu dengan orang yang menyulitkan, yang menyakitkan hati, atau sosok yang menyebalkan yang dulu kita hindari, kini telah berbalik menjadi sebuah kesempatan indah untuk menyadari sisi lain yang tersembunyi dalam diri ini. Mereka begitu berjasa dengan merelakan dirinya menjadi cermin untuk melihat apa yang kita tidak suka dalam raga ini. Yang terpenting bukan mencampakkan sisi yang tidak kita suka dan menyimpan yang terang, melainkan merangkulnya dengan penerimaan yang ikhlas. Ketika ini terjadi hidup menjelma menjadi sebuah berkah yang tak terhingga.
dari buku Happiness Inside ~ Gobind vashdev
(hlmn 192 - 199)
Kamis, 01 September 2016
Langganan:
Postingan (Atom)